Thursday, May 23, 2013

Selagi Kau Lelap


Selagi Kau Lelap

Sekarang pukul 1.30 pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur memiringkan tubuhmu dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal? "Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring. "
Sudah hampir tujuh tahun aku begini. Delapan puluh empat bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya, akan kau dapatkan angka ini: 13.063.680.000
Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Sela kan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi…
Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. "Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. "  
Rolex tak mampu berikan itu Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayangkan menambahnya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. " Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus."
Sekarang pukul 2.30 di tempatmu. 
Tak terasa sudah satu jam aku di sini. 
Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. 
"Namun, engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung dan segalanya yang di tengah-tengah. "
Sensasi ilahi. Tidak dolar, tidak juga pondsterling, mampu menyajikannya.

Aku tak pernah terlalu tahu keadaan tempat tidurmu. 
Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa aku tak perduli. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. 
"Terkadang, benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. "
Aku iri pada baju tidurmu, selimutmu, handukmu, apalagi pada guling… 
sudah..!!!  Stop...!!! aku tak sanggup melanjutkan. 
Membayangkannya saja ngeri. 
Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretensi? 
Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai Tanah Perjanjian.
"Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu.Pastikan kau ada di sana, "

tidak terbangun karena ingin pipis,menyalurkan hasrat apalagi karna mimpi buruk. Tunggu aku...!!
Begitu banyak yang ingin kubicarakan. 
Mari kita piknik, main pasir, main kartu, balap renang, melipat kertas, menyanyi, naik getek,nonton film,makan eskrim… 
tak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan? 
Namun, kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur disebelahmu. 

Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.

Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.

Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam… 
mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa “selamat pagi”.

# just a thougt of: Yul Brillianto (Captain Eagle)

0 comment:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites